TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Mantan Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mengaku optimistis bahwa Uni Eropa telah berhasil melewati semua tantangan yang dihadapinya saat ini, termasuk krisis pengungsi, ancaman disintegrasi, dan menguatnya gelombang populisme. Uni Eropa memiliki ketahanan (resilience) yang telah teruji selama puluhan tahun.
Barroso, yang mewakili Uni Eropa sebagai penerima Nobel Perdamaian pada 2012, menyampaikan pandangannya dalam kuliah publik di Universitas Prasetya Mulya, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (25/1) sore. Barroso hadir sebagai bagian dari rangkaian acara The 6th ASEAN “Bridges Dialogues Towards Culture of Peace”, yang berlangsung di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, mulai Januari sampai Maret 2017.
Seri dialog dengan para peraih Nobel ini diprakarsai International Peace Foundation (TPF) yang berbasis di Vienna, Austria.
Barroso meminta publik untuk tidak dengan gampang mengatakan bahwa Uni Eropa gagal, tetapi mencoba melihat perjalanan panjang bagaimana Uni Eropa terbentuk dan upayanya menjaga komitmen bersama untuk mewujudkan perdamaian, kesetaraan, dan kesejahteraan di antes sesama negara Eropa.
“Dari embrionya yang hanya enam negara setelah Perang Dunia II, kemudian berkembang menjadi sembilan negara, dan akhirnya 28 negara. UE secara umum telah jauh berhasil jika dibandingkan dengan kondisi Eropa sebelum ada blok ini. Dan, jika Inggris sekarang meninggalkan Uni Eropa, masih ada 27 negara yang solid di blok ini,” kata Barroso.
Pemyataan Barroso ini sekaligus menanggapi sejumlah pertanyaan dari para undangan yang umumnya khawatir dengan perkembangan terakhir, antara lain dengan semakin menguatnya gelombang ekstrem kanan di Eropa serta terpilihnya Presiden AS Donald Trump yang populis dan cenderung lebih memilih mendekat ke Rusia dibandingkan ke Uni Eropa.
Barroso mengakui bahwa di sana-sini memang terdengar sentimen nasionalistik, anti globalisasi ataupun anti Brussels. Namun, ia menegaskan bahwa arus globalisasi tidak lama bisa dibendung, khususnya terkait kemajuan teknologi.
“Yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita merengkuh globalisasi, bagaimana kita membentuknya, bagaimana kita mempersiapkan diri. Kita butuh lebih banyak pertukaran dagang karena yang terjadi bukan hanya pertukaran produk, melainkan juga pertukaran konsep, pertukaran expertise,” kata Barroso.
“Beberapa dekade lalu kita tidak membayangkan Brazil, India, dan Tiongkok tampil dalam percaturan dagang global bukan, tetapi sekarang lihat apa yang terjadi? Itu sebabnya, dari G-7 berkembang menjadi G-20. Boleh-boleh saja mengatakan ‘negara saya harus didahulukan, tetapi ingat pihak lain pun ingin diperlakukan setara.”
Menjawab pertanyaan apakah Trump merupakan ancaman bagi perdamaian dunia, Barroso yang kini menyebut dirinya sudah “bebas” karena tidak lagi menjadi pejabat negara mengatacan, Trump pods akhirnya nanti harus beradaptasi dengan dunia sehingga di titik tertentu akan terjadi kompromi.
“Melihat sejarah relasi AS-Eropa dari sejak Marshall Plan setelah Perang Dania II, saya tentunya berharap dia tidak menjadi presiden pertama AS yang menentang Uni Eropa,” kata Barroso.
Terkait itu, ia mengatakan, Uni Eropa jangan sampai bergantung pada pihak lain untuk melakukan sesuatu.
“Daripada menunggu apa yang akan dilakukan Tiongkok atau AS, lakukanlah apa yang bisa dilakukan UE. Saya optimistis terhadap UE yang telah menunjukkan kepemimpinannya. Saya bangga ketika Kanselir Angela Merkel menyatakan ‘refugee welcome’, karena sebetulnya hal yang paling gampang dilakukan adalah meayatakan ‘tidak’. Inilah yang disebut kepemimpinan yang mengedepankan prinsip,” kata mantas PM Portugal ini. Tanya jawab dalam kuliah publik ini dipandu Mari Elka Pangestu serta dibuka Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman Simanjuntak dan Ketua International Peace Foundation Uwe Morawets serta dihadiri, antara lain, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, dan mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. (MYR)
Source: Koran KOMPAS (26 Januari 2017)