Politik yang Mendidik

Sosok Ir Basuki Tjahaja Purnama, MM, alias Ahok jadi pembuka babak baru buku politik. Keterusterangan, sikapnya yang blak-blakan dan ketegasan menegakkan aturan membuat banyak orang geleng kepala. Tentu ada yang kagum, tidak sedikit yang murka.

Namun, itulah Ahok. Pria yang lahir di Belitung Timur, 29 Juni 1966 ini menegaskan dirinya sekadar konsisten menjaga produk yang ditawarkan saat kampanye. “Politik itu tidak berbeda jauh dengan marketing. Saya terapkan saja ilmu yang saya dapatkan di Magister Manajemen (MM) Prasetiya Mulya,” katanya.

Menurutnya, salah satu yang terberat di marketing adalah menjaga kualitas produk yang telah diluncurkan. “Masyarakat yang memilih kami karena menginginkan Jakarta Baru. Itu produknya. Jadi, ya kita ini terpaksa melabrak banyak orang karena harapan itu. Mau tidak mau, kita nyenggol oknum melarat sampai oknum konglomerat. Di tengahnya ada oknum aparat, teknokrat, dan birokrat.” katanya.

Ahok meyakini, masyarakat itu tidak bisa ditipu. Kalau produknya jelek, kemudian didongkrak dengan beragam janji muluk itu namanya pencitraan. Cara ini menurutnya pasti akan jadi bumerang. Suatu saat produk semacam ini akan ditinggalkan masyarakat. “Namun kalau produknya bagus, itu pasti terlihat dan terasa. Setiap orang itu punya nurani, jadi kalau kita bicara tulus bukan bulus pasti terasa tulus juga.”

Ketulusan itu penting bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin itu harus klop antara pikiran, hati dan perbuatan. Rakyat itu sudah bosan dengan banyaknya pemimpin yang hanya janji muluk saat kampanye namun si pejabat menghilang setelah terpilih. “Sebelum saya masuk ke politik di 2003, saya survei pasar dulu. Kalau marketing itu melihat market needs-nya Waktu itu masyarakat punya persepsi, paling kamu pejabat, itu sama saja. Nah setelah saya masuk menawarkan yang beda. Ini positioning di marketing. Ilmu ini juga saya pelajari waktu kuliah di Prasetiya Mulya.”

Ahok memulai dengan membuat politik yang mendidik. Pengalamannya waktu kampanye DPRD Tk II di Belitung mengajak pemilih lebih cerdas menggunakan hak pilihnya. “Kalian mengelu-elukan saya hanya karena diberi kaus seharga Rp 15 ribu itu kalian bodoh. Waktu saya bilang begitu banyak orang yang kaget. Kok ada orang politik yang bicara keras. Tapi ini awal saya membangun awareness. Ini ilmu marketing juga,” katanya. Selanjutnya Ahok menguraikan, bahwa nantinya pejabat yang terpilih bisa mencuri lebih banyak uang masyarakat dari sekadar uang kaus dan uang pulsa.

Setelah memadupadankan beragam pengalaman di bidang manajemen, Ahok meyakini di politik itu sistem yang harus bicara. “Saya tidak suka membuat bakti sosial. Nanti kalau mereka sakit tapi tidak ada baksos bagaimana? Makanya dibuatlah sistem jaminan sosial. Supaya ada atau tidak ada baksos, orang bisa berobat,” ujarnya.

Tak hanya itu, khusus di Indonesia Ahok meyakini gotong royong dan membantu orang lain itu harus jadi dasar semua kebijakan. “Sampai sekarang saya jadi seperti ini dengan lebih mudah karena saya konsisten mendahulukan membantu orang lain. Dengan membantu orang lain, kita jadi naik dengan lebih mudah,” katanya.

Inilah Ahok, dengan gaya dan pengalamannya saat menerapkan ilmu manajemen di dunia politik. Kekayaan pengalamannya bisa menjadi inspirasi banyak orang khususnya mahasiswa yang sedang menekuni ilmu manajemen.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (2014–2017)