This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognizing you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.
Semua ingin berinovasi! Hampir tidak ada perusahaan yang tidak mengakui pentingnya berinovasi. Namun, dalam praktiknya hanya segelintir saja yang sungguh-sungguh berinovasi.
Lantas, siapa saja yang benar-benar berinovasi, sementara kerumunan hanya berbisnis biasa?
Pilihan inovasi
Sudah tidak dipungkiri kebanyakan perusahaan kelas dunia, inovasi sudah menjadi prioritas utama yang harus dijalankan perusahaan. Inovasi bukan lagi pilihan. Inovasi sudah menjadi denyut nadi siapapun di perusahaan. Menjadi penyelesai segala problem yang mengganggu masyarakat penggunanya adalah misi yang dijalankan penginovasi. Persoalannya, problem bisa begitu banyaknya yang mustahil untuk dijawab semuanya sekaligus. Perlu identifikasi problem yang tepat untuk diselesaikan segera. Sederhananya adalah problem yang memiliki urgensi tinggi untuk segera diselesaikan. Bagaimana melihatnya?
Inovasi adalah tentang menawarkan produk, bisa berupa barang maupun layanan baru kepada penggunanya. Produk yang memberikan rasio performa terhadap harga yang jauh lebih tinggi dari produk sejenis. Produk baru yang ditawarkan penginovasi adalah solusi (hipotetikal) yang diyakini mampu menjawab problem pengguna. Lalu bagaimana mengujinya di depan, ketika produk tersebut belum diluncurkan ke pasar?
Untuk menjawabnya, silahkan tanyakan ke diri kita sendiri sebagai pengguna, apa yang mendasari kita menggunakan suatu produk. Disini, ada pekerjaan yang harus kita lakukan, pekerjaan pengguna yang harus diselesaikan (customer’s jobs to be done/JTBD) (Christensen dkk, 2016). Silahkan cek saja, bukankah begitu banyak pekerjaan kita yang harus diselesaikan. Mulai saja dari yang mengakrabi keseharian kita. Misalnya saja ada pernyataan JTBD berikut: ‘meningkatkan kepercayaan diri ketika melakukan presentasi bisnis’. Ada tiga komponen di dalamnya, kata kerja ‘meningkatkan’, obyek ‘kepercayaan diri’, dan konteks ‘presentasi bisnis’. Konteks di sini menjadi pengklarifikasi problem yang dihadapi penggunanya. Ada problem ‘kepercayaan diri’ yang hanya terjadi ketika presentasi bisnis, yang tidak terjadi pada konteks atau situasi yang lain.
Pernyataan JTBD bisa saja ‘solution-independent’, tidak otomatis mengarahkan pada solusi tertentu. Pelaku bisnis di dunia fashion tentunya akan menawarkan solusi berupa pakaian yang pantas digunakan untuk peristiwa formal, dengan harapan dapat membuat penggunanya nyaman dan akhirnya percaya diri. Pelaku di sektor pelatihan manajemen tentunya akan menawarkan solusi berbeda. Penguasaan teknik presentasi, komunikasi hingga pengembangan kepribadian adalah contoh solusinya. Bahkan dunia akademik menjadi bertanggung jawab untuk urusan ini. Menyadari sebaik-baiknya kepercayaan diri berasal dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak heran mengapa masih banyak peserta atau mahasiswa yang datang ke perguruan tinggi. Contoh JTBD di atas adalah pekerjaan yang sudah ada dan akan terus ada. Tinggal bagaimana pelaku bisnis menjawabnya.
Gambar berikut memperlihatkan posisi perusahaan dalam berinovasi produk. Kuadran kiri bawah adalah tempatnya para kerumunan. Praktis tidak ada inovasi (No-Innovation) yang ditawarkan di kuadran ini. Menawarkan solusi yang relatif sama untuk JTBD yang sudah terdefinisikan secara jelas. Para pembuat produk fungsional tanpa diferensiasi berarti yang sebatas mengejar biaya murah akan masuk dalam kuadran ini. Contoh, Ketika bicara JTBD abadi seperti ‘menjaga kesehatan gigi’ dengan tuntutan hasil (desired outcomes) yang tidak macam-macam dari penggunanya, pasta gigi akan menjadi solusi abadi. Demikian pula untuk JTBD seperti ’meningkatkan mobilitas’ dengan tuntutan hasil seperti kenyamanan, keamanan dan kebanggaan yang cukup, solusinya dapat berupa mobil.
Untuk bisa bertahan hingga sukses dalam persaingan, pelakunya dituntut untuk tidak kompromi dalam pemborosan. Efisiensi menjadi kunci sukses di kuadran ini. Kualitas proses menjadi penentu keberhasilan dalam persaingan. Perbaikan terus menerus untuk mengurangi segala biaya menjadi kegiatan rutin perusahaan.
Selanjutnya kuadran kiri atas, tempatnya para pelaku sustaining innovation. Disini perusahaan mencoba menginovasi produknya menjadi lebih superior dari produk yang sudah ada menjawab JTBD yang juga sudah ada sebelumnya. Perubahan yang ditawarkan umumnya bersifat inkremental. Disinilah pertarungan sesungguhnya yang dihadapi oleh kebanyakan penginovasi produk. Mereka berlomba untuk menghasilkan produk yang lebih hebat dari pesaingnya. Tidak cukup dengan mobil yang sudah ada, pabrikan mobil terus mengejar realisasi mobil pintar yang dapat mengendarai sendiri. JTBD tetap saja sama dalam urusan mobilitas. Tapi solusi yang ditawarkan adalah kebaruan dari solusi sebelumnya.
Kebaruan solusi tidaklah gratis. Butuh proses discovery (penemuan) yang tidak murah untuk mendapatkan solusi baru tersebut. Inilah yang ditakutkan oleh kebanyakan pelaku bisnis. Dengan rasio R&D terhadap sales per tahun yang sedikitnya 2%, tidaklah mengherankan jika hanya segelintir dari kerumunan yang mau melakukan sustaining innovation ini.
Sulitnya menjadi pelaku inovasi yang hebat di kuadran kiri atas tidaklah berarti pintu-pintu berinovasi sudah tertutup. Sekarang lihatlah kuadran kanan bawah. Disinilah tempatnya para pendisrupsi. Yang mereka sasar adalah non-pengguna yang belum terlayani oleh produk yang sudah ada. JTBD pengguna belum ada atau belum terdefinisi.
Coba lihat sekelompok masyarakat yang tidak pernah terfikir untuk berwisata. Alasannya sederhana, mahal. JTBD berupa ‘mencari pengalaman baru di tempat baru di saat liburan panjang’ masih belum terbesit dalam benak mereka. Lalu keluarlah para pendisrupsi yang menawarkan tiket pesawat dan biaya penginapan yang terjangkau. Para pendisrupsi inilah yang mendorong sekelompok masyarakat untuk akhirnya mendefinisikan JTBD yang baru.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, peluang inovasi disruptif sebenarnya terbuka lebar. Lihat saja para non-consumer yang selama ini masih termarjinalkan oleh pelaku bisnis besar. Penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, hiburan yang cukup berkualitas tapi tetap terjangkau dapat menjadi solusi atas JTBD baru mereka.
Dan yang terakhir adalah inovasi ‘new to the world’ yang menempati kuadran kanan atas. Disinilah rumahnya para aristokrat dalam berinovasi. Mereka bereksplorasi mencari solusi yang belum pernah ada untuk kemudian didorong ke masyarakat pengguna. Mereka menawarkan JTBD baru untuk masyarakat. Ketika masyarakat menyambutnya dengan suka cita dan penuh ketakjuban, itulah pencapaian tertinggi sosok penginovasi.
Pebisnis memang tidak harus berinovasi. Tapi bagi penginovasi, inovasi adalah bisnis mereka. Memang, inovasi bukan untuk semua!