Inovasi memang lebih ramai dibicarakan daripada yang dijalankan. Dapat dimaklumi memang, inovasi butuh keyakinan dan komitmen tinggi dari pemimpin perusahaan. Kenyataannya, kebanyakan perusahaan dijalankan untuk pencapaian kinerja penjualan maupun keuntungan. Ketika berhasil melakukannya, apakah perusahaan tersebut adalah contoh perusahaan yang telah melakukan inovasi? Belum tentu. Bisa saja sebuah perusahaan yang tidak berinovasi tetapi keuangannya tetap sehat hingga kini.
Mereka menialankan bisnis seperti biasa. Inilah sosok pebisnis pada umumnya. Selama produk (barang atau layanan) masih bernilai dimata masyarakat dalam kurun waktu yang lama, bisnis akan terus berlangsung. Urgensi dalam berinovasi pun masih dinilai rendah oleh pelaku bisnis.
Maksimisasi penjualan dan minimisasi segala biaya masih menjadi ‘roh’ dikebanyakan perusahaan. Lantas kapan inovasi menjadi urgensi di perusahaan? Dalam konteks dunia bisnis di Tanah Air, adakah peluang inovasi di tahun 2017 ini?
Dari Lanskap Ketidakpastian
Memang inovasi bukan untuk semua. Kenyataannya, ada perusahaan yang begitu inovatif; tetapi kerumunan biasa-biasa saja. Ungkapan innovation or die harus disikapi secara cermat oleh pelaku bisnis. Jangan latah atau terburu-buru untuk memutuskan berinovasi. Karena pada dasarnya, setiap sektor industri menawarkan tingkat keinovasian yang berbeda.
Tingkat keinovasian suatu industri setidaknya dapat diterangkan dari dua dimensi, yaitu ketidakpastian teknologi dan permintaan (Dyer dkk, 2014). Contoh berikut memperlihatkan lanskap ketidakpastian untuk berbagai sektor industri di Amerika Serikat dalam periode 2002 – 2011. Ketidakpastian teknologi di setiap industri diukur dari rasio belanja R&D terhadap sales, ketidakpastian permintaan ditentukan dari tingkat volatitas pendapatan industri dan tingkat turnover perusahaan. Posisi industri dalam matriks 4 kuadran menentukan tingkat keinovasian bagi setiap industri. Meski pemetaan sejenis untuk Indonesia belum tersedia, paling tidak pemetaan ini dapat membantu pelaku bisnis di sini untuk melihat berbagai peluang inovasi.
Untuk konteks Indonesia, melihat rasio R&D terhadap sales-nya secara umum masih kecil sekali, jauh dibawah 1%, sehingga dapat dinyatakan bahwa ketidakpastian dalam teknologi dapat dikatakan rendah. Dengan demikian, industri-industri di sini banyak menempati kuadran kiri bawah dan kiri atas saja. Mereka yang berada di kuadran kiri bawah seperti penyedia layanan infrastruktur (air, listrik dan jalan), menghadapi ketidakpastian teknologi, dan permintaan yang rendah.
Hal ini membuat tuntutan berinovasi di industri inijuga rendah. Meski demikian, tidak berarti penyedia layanan utilitas tersebut bebasdari urusan inovasi. Silahkan saja lihat problem keseharian di jalan tol, terlebih saat musim hujan. Mudah ditemukannya jalan-jalan berlubangbahkan rusak parah yang mengganggu kenyamanan sekaligus keselamatan pengguna jalan. Tidak responsifnya penyegaraan dalam mengatasi problem tersebut merupakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan untuk penyedia jalan tol.
Jobs to be done berupa memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengendara di jalan tol yang belum mampu dipenuhi oleh penyedia jalan tol. Hal ini bisa menjadi peluang inovasi layanan, meski inkremental sifatnya untuk terus mengupayakan jalanan berkualitas tinggi. Belum lagi masalah antrian panjang pada saat membayar tol yang disebabkan oleh pengguna jalan yang lebih memilih membayar secara tunai daripada menggunakan uang elektronik. Lebih parah lagi, justru gardu tol otomatis yang diperbanyak. Disinilah pentingnya pemahaman perilaku masyarakat. Inilah hal-hal simple yang jika diperhatikan penyedia jalan tol akan membantu meningkatkan kualitas layanan mereka.
Berbeda dengan pemetaan di atas, industri ritel dan juga perhotelan di Tanah Air ditempatkan di kuadran kiri bawah. Secara umum tetap memperlihatkan adanya pertumbuhan revenue sebesar 10% per tahun (Sumber: Laporan keuangan perusahaan-perusahaan ritel Tbk. periode 2011-2015). Adanya trend meningkat ini menjelaskan kepastian dalam permintaan. Para pelaku di industri ini patut bersyukur, sebab faktor semesta mendukung bisnis mereka. Pelanggan masih mencari layanan mereka.
Meski demikian, tidak berarti pelaku di industri ini harus berdiam diri. Bermunculannya pendatang baru dengan inovasi model bisnis berbasis aplikasi menjadi ancaman nyata bagi pelaku konvensional. Bagi pelaku konvensional tetap bisa bertahan selama memahami dengan benar perihal yang menjadi jobs to be done dan desired outcomes dari masyarakat yang ingin dilayaninya. Tetap cukup banyak dari kita yang merasa nyaman dan aman tinggal di hotel atau belanja langsung dari toko konvensional.
Lalu, bagaimana dengan industri komoditas penghasil sumber daya alam seperti batu bara, dan pertambangan yang berada di kuadran kiri atas? Menghadapi ketidakpastian akan menguatnya permintaan, pelaku industri ini dituntut untuk tetap efisiendalam eksploitasinya. Ingatlah persamaan konseptual dalam penciptaan nilai. Value = Idea x Development x Exogenous factors (Ulrich, 2014). Karena permintaan sekaligus harga komoditas merupakan faktor semesta dan exogenous yang harus diterima dan sulit dikendalikan, maka idea berupa lokasi tambang harus dijalankan secara efisien. Oportunitas inovasi berupa perampingan proses, penguatan kemitraan, maupun struktur perusahaan menjadi alternatif untuk menekan biaya dan membuka pintu-pintu what’s next.
Begitu pula dengan e-commerce. Dengan trend peningkatan jumlah pengguna internet dan transaksi belanja lewat e-commerce, ketidakpastian dari sisi permintaan dapat dikatakan rendah. Diyakini kekuatan teknologi akan menjadi penentu keberlangsungan pelakunya di industri ini. Pelaku dituntut untuk meningkatkan terus-menerus kapasitas dan kapabilitas yang ada pada software dan hardware.
Ketidakpastian dari teknologi menjadi tinggi, sehingga ancaman di depan mata menjadi nyata. Bisnis menjadi tidak mudah bagi pelaku lokal ketika pelaku raksasa seperti Amazon memutuskan untuk menggarap pasar e-commerce di Indonesia. Ketika ini terjadi, hanya pelaku lokal yang memiliki keunikan tersendiri dalam produk, kemitraan dengan pedagang dan hubungan dengan penggunanya yang akan mampu bertahan. Inilah peluang inovasi bagi pelaku lokal di industri e-commerce yang menempati kuadran kanan bawah.
Akhirnya kuadran kanan atas masih sepi dari pelaku-pelaku lokal. Tapi bukan berarti tertutup pintu untuk memasukinya. Investasi besar untuk R&D dan penguasaan teknologi harus diikuti oleh dukungan kebijakan pemerintah, jejaring pasokan yang kuat dan ketepatan produk yang menggaransi terjadinya permintaan. Adakah pelaku lokal yang benar-benar ingin menjadi pembuat produk inovatif berbasis teknologi tinggi? Sangat dinantikan!
Source: Warta Ekonomi 2017